Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

mencintai atau dicintai?

"Ih ih kalo elu milih yg mana? Mencintai apa dicintai?"
"Gue mending dicintai lah, jelas."
"Iya, gue juga. Kl mencintai, terus ternyata dia ga mencintai kita gimana?? Iih amit2 deh."
"Kalo gue mencintai loh"
"Kenapa??"
"Karna kalian pada milih dicintai, kasian kan kalo gaada yang mencintai?"

*****
Itu secumplik percakapan 3 orang cewek berseragam putih biru di angkot 41. Ramai, seru, hiperaktif, yaa namanya juga abg satu geng. Sibuk sendiri.

Percakapan mereka menarik, mencintai atau dicintai?
Hm aku jd ingin ikut nimbrung dengan mereka. Pertanyaan itu berputar di atas kepalaku, seakan memintaku menjawabnya.

Coba dilihat dari beberapa sudut.

Fisika. Hukum newton 3, ada aksi maka ada reaksi. Menurutku, mencintai adalah sebuah aksi. Maka dicintai adalah timbal baliknya.

Pepatah "memberi lebih baik dari menerima". Ya menurutku mencintai adalah memberi cinta. Dan dicintai berarti kita menerima cinta dr orang lain.

Pepatah "kalau mau dihargai, maka kamu harus menghargai". Sama dong artinya dengan "kalau mau dicintai, maka kamu harus mencintai"

Dari bbrp sudut itu aku menyimpulkan bahwa aku lebih memilih untuk mencintai. Tak peduli timbal balik apa yang kudapatkan. Dimulai dari mencintai diri sendiri, dan seterusnya kuyakin akan indah pada waktunya.

Ini pilihanku, kalau kamu?


menunggu lampu ijo cijago,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

perundingan

tugas 1 dari bu bayu.
  • peran kepribadian dalam perundingan

Hasil penilaian terhadap hubungan kepribadian dengan negosiasi menunjukkan bahwa sifat-sifat kepribadian tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap proses tawar-menawar ataupun hasil negosiasi.
Sebagai contoh, para perunding yang menyenangkan atau ekstrovert sering kali gagal total ketika harus melakukan tawar-menawar distributif. Hal ini terjadi karena orang-orang ekstrovert suka menyenangkan hati orang lain dan besahabat, cenderung berbagi lebih banyak informasi ketimbang semestinya. Dan orang semacam itu akan lebih tertarik untuk mencari cara-cara mengembangkan kerja sama alih-alih berbentrokan dengan orang lain. Sifat-sifat ini, walau agak membantu dalam negosiasi, akan menjadi beban manakala kepentingan yang diperjuangkan bertentangan
Jadi, penawar distributif terbaik kiranya adalah orang introvert yang tidak terlalu ramah. Orang yang berkepribadian ini adalah seseorang yang lebih mementingkan hasil negosiasi ketimbang menyenangkan pihak lain dan mengutamakan pergaulan sosial yang menyenangkan.
Selain introvert dan ekstrovert, seseorang yang memiliki ego yang besar juga dapat mempengaruhi negosiasi atau perundingan. Seseorang yang memiliki ego yang besar, juga dapat berakibat menjadi ambisius. Individu-individu yang ambisius ini biasanya lebih berpikir untuk menyelamatkan mukanya sendiri (kepentingan sendiri), dan ini tidak baik dalam sebuah perundingan atau negosiasi. Karena sebuah studi menemukan bahwa individu-individu yang sangan memedulikan penampilan sebagai orang yang kompeten dalam dan sukses dalam negosiasi dapat berdampak negatif dalam hasil proses negosiasi. Ini dikarenakan mereka yang terlalu kompetitif dalam negosiasi melakukan perundingan untuk membuat diri merekan tampak lebih baik, cerdas, atau apapun daripada untuk mencapai kesepakatan terbaik bagi semua pihak yang terkait. Jadi dalam negosiasi sebaiknya seseorang melepaskan ego mereka secara tidak berlebihan sehingga mampu menegosiasikan kesepakatan secara lebih baik bagi semua pihak terkait.
Ada komponen yang berpengaruh juga pada proses negosiasi, yaitu suasana hati. Para perunding yang suasana hatinya baik akan memperoleh hasil yang lebih baik diabanding dengan perunding yang suasana hatinya biasa saja. Hal ini dikarenakan perunding yang suasana hatinya ceria cenderung lebih mempercayai pihak lain dan dengan demikian akan mendapatkan  banyak penyelesaian yang saling menguntungkan.

  •     Peran Jenis Kelamin dalam Perundingan
Stereotip populer yang dianut banyak orang mengatakan bahwa perempuan lebih kooperatif dan menyenangkan dalam negosiasi dibangdingkan dengan laki-laki. Bukti yang ada tidak mendukung keyakinan ini. Namun laki-laki ditemukan mampu menegosiasikan hasil yang lebih baik daripada perempuan, meskipun perbedaannya relatif kecil. Diasumsikan bahwa perbedaan ini dikarenakan laki-laki dan perempuan menempatkan nilai yang berbeda pada hasil negosiasi.
Keyakinan bahwa perempuan “lebih menyenangkan “ dalam negosiasi barangkali karena persoalan gender yang membingungkan dan rendahnya posisi yang dipegang kaum perempuan di kebanyakan organisasi besar. Bukti menunjukkan bahwa sikap perempuan terhadap negosiasi dan terhadap diri mereka sendiri sebagai perunding tampaknya sangat berbeda dengan sikap laki-laki. Manajer perempuan memperlihatkan rasa kurang percaya diri dalam mengantisipasi negosiasi dan lebih tidak puas dengan kinerja mereka setelah proses perundingan selesai, bahkan ketika kinerja mereka dan hasil kerja yang mereka capai sama dengan yang dicapai perunding laki-laki. Kesimpulannya adalah perempuan bisa jadi terlalu menghukum diri sendiri karena tidak bisa ikut dalam negosiasi padahal ini merupakan kepentingan terbesar mereka.
  •  Peran Budaya dalam Perundingan

Berbagai penelitian menunjukkan adanya perbedaan pendekatan dan prilaku berunding antara budaya-budaya tertentu. Karenanya, sikap hati-hati amat diperlukan dalam menghadapi perbedaan budaya dalam perundingan. Berikut beberapa temuan penting lainnya berkaitan dengan perundingan dan budaya.
1.   Semakin lama para perunding terlibat dalam perundingan, semakin kecil peran budaya asal (adat, agama, nasional) mereka. Di sini muncul istilah subkultur perunding, yang merujuk pada proses pembentukan subkultur di kalangan para perunding, yang pada gilirannya memperkecil pengaruh latar belakang budaya asal perunding. Subkultur perunding ini menjadi budaya ketiga (jika terdapat dua perunding), yang terbentuk seiring dengan bergesernya posisi perunding dari ‘lawan runding’ menjadi ‘kawan runding’ (counterparts  menjadi compatriots). Sebagai contoh adalah subkultur antar perwakilan negara di PBB, yang menjadi lebih dominan dibandingkan budaya nasional dari para duta negara dan cenderung ‘memuluskan’ proses perundingan.
2.    Budaya mempengaruhi prilaku. Hal ini antara lain mencakup orientasi dan pendekatan terhadap konflik dan perundingan (konfrontasi, kompetisi, kolaborasi, kompromi), keterbukaan dalam menghadapi perbedaan dan konflik, serta tingkat individualisme dan kolektivisme. Juru runding dari budaya kolektivis misalnya, cenderung lebih sensitif terhadap perbedaan budaya dibandingkan juru runding dari budaya individualis. Lebih jauh, perunding dari budaya kolektivis cenderung kooperatif ketika berunding dengan ‘teman’ dan lebih kompetitif ketika berunding dengan ‘orang asing’.
3.      Budaya dapat secara langsung mempengaruhi dinamika perundingan. Ini mencakup kecenderungan bersikap keras atau lunak; induktif atau deduktif; persepsi terhadap waktu, tingkat formalitas atau informalitas; tingkat mengekspresikan emosi; serta konsepsi linearitas dalam perundingan.
4.      Perbedaan budaya melahirkan perbedaan nilai dan tolok ukur dalam memandang hasil perundingan. Bisa jadi satu budaya lebih menekankan pada keadilan sebagai tolok ukur kelayakan, sementara pihak lain lebih menekankan pada kesetaraan atau kebutuhan.
Beberapa contoh gaya bernegosiasi antara satu kultur dengan kultur lain yaitu :
1.    Orang Prancis menyukai konflik. Mereka sering kali mendapatkan pengakuan dan membangun reputasi dengan cara berpikir dan bertindak berlawanan dengan orang lain. Alhasil, orang Prancis cenderung perlu waktu lama dalam menegosiasikan kesepakatan dan tidak terlalu peduli apakah lawan mereka suka atau tidak dengan mereka.
2.    Bangsa Cina dan Jepang bernegosiasi untuk membangun hubungan dan komitmen bekerja sama alih-alih untuk menyelesaikan apa yang belum disepakati. Bangsa Cina juga suka mengulur-ulur perundingan, itu karena mereka percaya bahwa negosiasi tidak pernah berakhir.
3.   Orang Amerika Utara mencoba membujuk dengan mengandalkan fakta dan menggunakan logika. Mereka menangkis argumen lawan dengan fakta-fakta objektif. Mereka membuat konsesi kecil diawal negosiasi untuk membangun hubungan dan biasanya membalas konsesi lawan.
4.    Orang Arab mencoba membujuk lawayang tegasn dengan menggunakan emosi. Mereka menangkis lawan dengan perasaan subjektif. Mereka membuat konsesi sepanjang proses tawar-menawar dan hampir selalu membalas konsesi lawan.
5.    Orang Rusia mendasarkan argumen mereka pada standar. Kosnsesi apapun yang ditawarkan oleh lawan dipandang sebagai suatu kelemahan dan hampir tidak pernah dibalas.


  • Peran Pihak Ketiga dalam Perundingan

Beberapa pihak ketiga dalam perundingan adalah:
1.   Mediator adalah pihak ketiga netral yang memfasilitasi penyelesaian perundingan dengan menggunakan penalaran dan persuasi, menyarankan alternatif, dan semacamnya. Efektifitas keseluruhan dari perundingan yang menggunakan mediator cukup mengesankan. Situasi merupakan kunci apakah mediasi akan berhasil atau buntu. Mediasi berjalan dengan baik pada tingkat konflik yang sedang. Akhirnya persepsi terhadap mediator haruslah netral dan tidak memaksa/memihak. Tingkat penyelesaian kurang lebih 60 %, dengan tingkat kepuasan perunding sekitar 75 %.
2.    Arbitrator adalah pihak ketiga yang mempunyai wewenang memaksakan kesepakatan. Arbitrasi dapat bersifat sukarela atau wajib. Arbitrasi selalu menghasilkan penyelesaian.
3.    Perujuk atau Konsiliator merupakan pihak ketiga terpercaya yang berperan sebagai penghubung komunikasi informal antara perunding dengan lawannya. Perujukan digunakan secara luas dalam sengketa internasional. Peran ini dipopulerkan oleh Robert Duval dalam film Godfather yang pertama.
4.     Konsultan adalah pihak ketiga yang terampil dan tidak berat sebelah yang berupaya memudahkan pemecahan masalah melalui komunikasi dan analisis, yang dibantu dengan pengetahuannya mengenai manajemen konflik. Ia lebih kepada perbaikan hubungan antara pihak berkonflik sehingga dapat mencapai penyelesaian sendiri. Ia mengarahkan belajar memahami dan bekerjasama, serta membina persepsi dan sikap yang baru dan positif antar pihak berkonflik.
        
        Intervensi pihak ketiga dibutuhkan apabila pihak-pihak yang berselisih tidak mau atau tidak mampu mengatasi konflik. Integrative atau value-added negotiation paling tepat untuk mengatasi konflik antar group atau antar organisasi.


  • Daftar Pustaka

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2008). Perilaku Organisasi 2. (D. Engelica, R. Cahyani, & A. Rashid, Penerj.) Jakarta: Salemba Empat.

http://www.scribd.com/doc/24112241/negosiasi



minggu siang,
menikmati libur yang jarang datang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS